SASTRA PERIODE
HORISON
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah
Sastra
Doden Pengampu: Drs. Adyana Sunanda
Disusun Oleh:
Sugeng Saputro (A310100067)
Fitri Kartikasari (A310100068)
Puspasaril Nur Hidayah (A310100081)
Sigit Puriyanto (A310100088)
Ria Widyawati (A310100096)
PENDIDIKAN
BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sastra merupakan tulisan yang indah (Fananie, 2002:
4). Jenis sastra dari zaman ke zaman selalu mengalami perubahan. Hal tersebut
didasarkan pada kenyataan bahwa ssstem sastra yang ada bukanlah merupakan satu
sistem yang baku, merupakan suatu sistem yang selalu berubah sesuai dengan
perkembangan zaman dan budaya (Fananie, 2002: 7).
Berbicara mengenai sastra Indonesia tentu tidak
terlepas dari banyaknnya angkatan yang sudah berkembang dari dulu hingga
sekarang. Angkatan-angkatan sastra tidak berkembang dengan sendirinya,
melainkan mengikuti perkembanga zaman dan dipengaaruhi oleh berbagai hal.
Setiap angkatan sastra memilik cirri yang berbeda.
Secara garis besar, kesusastraan Indonesia terdapat
beberapa angkatan yaitu angkat Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Horison/Orde
Baru, Angkatan 80, Reformasi, dan angkatan Pasca Reformasi. Setiap angkatan
memiliki perbedaan mendasar yang melandasi lahirnya setiap angkatan. Seperti
angkatan Balai Pustaka, yang memiliki ciri romantis sentimental dan bahasa
dalam sastra angkatan ini masih dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau, sedangkan
angkatan Pujangga Baru memiliki ciri romantik dan berbahasa Indonesia. Begitu
pula dengan angkatan orde baru/ periode horion, yang memiliki cirri berbeda
dengan sastra angkatan lain. Secara khusus, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai sastra angkatan Orde Baru/periode Horison (Narie, 2010).
II.
MATERI
2.1.
Pembahasan Periode Horison
Lahirnya
angkatan ‘66 ini didahului adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di
Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang dilakukan PKI dan ormas-ormas
yang bernaung dibawahnya. Angkatan ’66 mempunyai cita-cita ingin adanya
pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang terkandung di
dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angaktan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya
aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI
untuk memperjuangkan Tritura (Narie, 2010).
Secara politis angkatan orde baru/horison terlahir
dari pergolakan politik dalam masyarakat. Kelahiran angkatan ini adalah suatu
peristiwa politik dan pertama kali diperkenalkan oleh H.B. Jassin dalam
karyanya yang bertajuk “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” dalam majalah
Horison. Meskipun demikian, dalam bidang kesusastraan angkatan ini memiliki
ukuran nilai yaitu nilai kesusastraan, yang berarti sastra angkatan orde
baru/horison ini anti tirani, ingin menegakkan keadilan dan kebenaran yang
dituangkan dalam bentuk sastra (puisi, prosa, dan drama).
Lahirnya sastra horizon dilatarbelakangi oleh adanya
LEKRA yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat. LEKRA beranggotakan Seniman Indonesia
Muda dan Pelukis Rakyat. LEKRA didirikan pada tahun 1950. LEKRA mempunyai
cabang disemua ibu kota provinsi dan terutama di Yogyakarta yang dipimpin oleh
Suromo kemudian digantikan oleh Sudjojono. LEKRA mendapat bantuan keuangan dan
materi dari Partai Komunis, Partai itu juga menyelenggarakan berbagi program
untuk semua cabang seni: seni sastra, seni teater, seni lukis dan seni tari.
Program tersebut bertujuan untuk mengembangkan diri hingga keluar negeri. Pada
tahun 1951 Sudjojono berkunjung ke Berlin Timur sebagai delegasi Seniman
Indonesia. Setelah kunjungannya itu Seniman Indonesia Muda tidak memperoleh
dukungan yang menyeluruh, kemudian muncul konflik-konflik dan perselisihan
hingga berakhirlah anggota sanggar tersebut dan terbentuklah organisasi baru
“Pelukis Indonesia” yang dipimpin oleh Sumitro, kemudian Solihin yang didukung
oleh Kusnadi, Bagong Kussudiardjo, Gambiranom serta Nasjah Djamin. Dua tahun
kemudian dipimpin oleh Widayat bersama ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia)
dengan PIM (Pelukis Indonesia Muda).
Tahun 1955 Kusnadi menjadi pemimpin Pelukis
Indonesia, ia memangku jabatan Kepala Kantor Seni Departemen Kebudayaan
Yogyakarta. Jabatan itu tidak menghalanginya untuk bekerjasama dengan LEKRA,
terutama untuk melaksanakan berbagai proyek pemerintah. ASRI dan PIM
bekerjasama dan terbukti dinamis dari bangunan rumah di tengah sawah yang dibangun oleh kedua belah pihak yang
terkait dan perkumpulan diantara ASRI dan PIM tersebut dibubarkan pada tahun
1960, tapi pada waktu yang hampir bersamaan 01 April 1959 perkumpulan lain
muncul dengan nama Sanggar Bambu, yang dipimpin oleh Sunarto P.R.
2.2.
Semangat
Sastrawan angkatan orde baru/horison ini, ingin
menegakkan keadilan dan kebenaran yang dituang dalam bentuk kesusastraan. Dalam
karyanya Taufik Ismail lebih mengarah pada tema sosial politik. Ia adalah
pelopor puisi-puisi demonstrasi. Sedangkan Goenawan Mohammad, karyanya bersifat
romantik.
2.3.
Ciri-ciri Periode Horison (karakteristik)
Pada masa ini lebih didominasi oleh karya-karya yang
beralihan realisme sosial kanan. Termasuk di dalamnya puisi-puisi demonstrasi
Taufik Ismail, Mansur Samin, dll. Pada masa ini karya sastra yang lebih dikenal
adalah puisi, terutama puisi-puisi demonstrasi atau protes social (Narie, 2010).
a.
Ciri-ciri Puisi
-
Struktur Fisik
-
Berbentuk balada
-
Menggunakan gaya repetisi
-
Menggunakan gaya slogan dan retorik
-
Bercorak kedaerahan
-
Masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, demonstrasi
-
Keagamaan
b.
Ciri-ciri Prosa dan Drama
1.
Struktur Fisik
Karya prosa fiksi dan drama tahun 60-an masih
menunjukkan struktur fisik konvensional. Seperti dikatakan oleh Sumarjo “
Kaidah mimesis dalam sastra masih dipatuhi dalam penulisan sastra drama tahun
1950-an dan 60-an di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi
perubahan dalam hal penokohan, alur, dan latar ceritanya. Bahkan berdasarkan
catatan Sumarjo “ Dari 55 drama yang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh yang
jelas sekali nama, usia, watak, dan latar belakang sosiologisnya.
2.
Struktur Tematik
-
Perjuangan ( Berlatar revolusi )
-
Kehidupan pelacur
-
Sosial
-
Kejiwaan
-
Keagamaan
2.4.
Pengarang dan Karya yang dihasilkan
Pengarang yang telah membawa angkatan orde
baru/horison ini mencapai puncaknya, di antaranya:
1.
Taufik Ismail
Taufiq Ismail
adalah pelopor puisi-puisi demonstrasi. Taufiq Ismail menjadi ciri bagi apa
yang disebut angkatan 66 oleh H.B. Jassin. Puisinya adalah protes sosial
menentang tirani dan rezim seratus menteri.
Taufiq Ismail
dilahirkan di Bukit tinggi pada tanggal 25 juni 1937. Ia menamatkan
pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (sekarang IPB)
di Bogor. Pernah menjadi ketua Federasi Teater Bogor, anggota Dewan Kesenian
Jakarta (1968) dan ketua lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sejak 1973).
Puisi-puisinya
kebanyakan bersifat naratif dan prosais. Selain itu, puisi taufik Ismail
disebut puisi yang menandakan suatu kebangkitan angkatan ini Puisi-puisi demonstrasi
kebanyakan sangat prosais dan diafan. Tirani (1966), Bentneg (1966),
Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan langit (1971), Buku
Tamu Musium Pejuangan (1969), dan sajak-sajak Ladang Jagung (1973). Tirani dan
Benteng adalah kumpulan puisi demonstrasi. ( Waluyo, 1987: 264 )
2.
Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad
lahir di Barang pada 29 Juli 1942. Pernah kuliah di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Tahun 1973 Goenawan Mohamad mengikuti festival penyair
Internasional di Rotterdam. Ia adalah seorang penandatangan Manifest Kebudayaan
( 1963 ). Pada tahun 1972, Goenawan Mohamad mendapatkan Anugrah Seni ( Waluyo,
1987 : 2616 ).
Karya-karyanya
berupa sajak telah dibukukan dengan judul “Paritkesit” (1971) dan “Interlude”
(1973). Sedangkan kumpulan esainya berjudul Potret Seorang Penyair Muda Sebagai
Si Malinkundang (1972), Sex Sastra Kita (1981), Catatan Pinggir 2 (1989).Selain
karirnya di bidang kewartawanan, redaktur, dan penulis, ia juga pernah menjadi
anggota MPR (1987). Disini disajikan sebuah puisi karyanya, yang berjudul
“Dongeng Sebelum Tidur” yang dipetik dari Interlude.
3.
Mansur Samin
Dapat
dikategorikan sebagai penyair demonstrasi karena ada sebagian puisi-puisinya
yang merupakan puisi demonstrasi kumpulan sejak demonstrasinya berjudul
Perlawanan. Karya-karya lainnya adalah Tanah Air (kumpulan sajak, 1969), “
Kebinasaan Negeri Senja “ (drama, 1968) dan beberapa buku kumpulan puisi yang
akan terbit. (Waluyo, 1987: 269)
4.
Hartojo Andangdjaja
Lahir di Solo
pada tanggal 4 Juli 1930. Kumpulan sajaknya berjudul : Simponi Puisi (kumpulan
sajak, D.S. Moeljanto, 1954) dan buku puisi (1973). Meskipun ia tidak menulis
puisi demonstrasi, namun karena periode kepenyairannya sejaman dengan Taufiq
Ismail, maka diklasifikasikan dalam periode 1966-1970-an. (Waluyo, 1987 :271)
5.
Piek Ardijanto Suprijadi
Penyair ini
lahir di Magetan Jawa pada tanggal 12 Agustus 1929. Sajaknya memperoleh hadiah
dari majalah sastra tahun 1962, dan sajak-sajaknya dimuat di Majalah Indonesia,
Sastra Horizon dan juga dibuku Angkatan 66 H.B Jassin (1968). Kumpulan puisinya
berjudul Burung-Burung di Ladang. (Waluyo, 1987 : 273)
6.
Sutardji Calzoum Bachri
Karya yang di
hasilkan adalah Amuk dan Kapak
7.
Abdul Hadi WM
Karya yang dihasilkan
adalah Laut Belum Pasang – (kumpulan puisi), Meditasi – (kumpulan puisi), Potret
Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur – (kumpulan puisi), Tergantung Pada
Angin – (kumpulan puisi), dan Anak Laut Anak Angin – (kumpulan puisi).
8.
Sapardi Djoko Damono
Karya yang di
hasilkan adalah Dukamu Abadi – (kumpulan puisi), Mata Pisau dan Akuarium – (kumpulan puisi), Perahu
Kertas – (kumpulan puisi), Sihir Hujan – (kumpulan puisi), Hujan Bulan Juni –
(kumpulan puisi), Arloji – (kumpulan puisi), dan Ayat-ayat Api – (kumpulan
puisi)
9.
Asmaradana
Karya yang di
hasilkan adalah Misalkan Kita di Sarajevo
10.
Umar Kayam
Karya yang di
hasilkan adalah Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Sri Sumarah dan Bawuk –
(kumpulan cerita pendek), Lebaran di Karet, di Karet - (kumpulan cerita pendek),
Pada Suatu Saat di Bandar Sangging, Kelir Tanpa Batas, Para Priyayi, dan Jalan
Menikung.
11.
Danarto
Karya yang di
hasilkan adalah Godlob, Adam Makrifat, Berhala
12.
Putu Wijaya
Karya yang di
hasilkan adalah Telegram, Stasiun, Pabrik Gres – Putu Wijaya, Bom, Aduh –
(drama), Edan – (drama), dan Dag Dig Dug – (drama)
13.
Iwan Simatupang
Karya yang di
hasilkan adalah Ziarah, Kering, Merahnya Merah, Koong, RT Nol / RW Nol –
(drama), dan Tegak Lurus Dengan Langit.
14.
Arifin C. Noer
Karya yang di
hasilkan adalah Tengul – (drama), Sumur Tanpa Dasar – (drama), dan Kapai Kapai
– (drama)
15.
Djamil Suherman
Karya yang di
hasilkan adalah Sarip Tambak-Oso, Umi Kulsum – (kumpulan cerita pendek), Perjalanan
ke Akhirat, dan Sakerah
III.
SIMPULAN
Sastra angkatan orde baru/horison ini terlahir dari
pergolakan politik dalam masyarakat dan lebih bersifat sosial. Hal ini di
tandai dengan munculnya karya satra dari beberapa sastrawan yang mengangkat
tema politik dan demonstrasi. Para sastrawan pendukung periode ini, melahirkan
karya sastra yang berupa puisi, prosa, dan drama, yang di dalamnya mengungkap
permasalahan/unsur-unsur.
Dalam angkatan Horizon semangat yang sangat menonjol
adalah semangat avant-garde. Banyak karya sastra yang
sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran
surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Dalam angkatan Horison juga
ditandai dengan banyaknya roman percintaan. Pada era ini juga tumbuh sastra
yang beraliran pop, justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh
generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih
berat.
DAFTAR PUSTAKA
Fananie,
Zainuddin. 2002. Telaah Sastra.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Narie,
Ramlan. 2010. “Perbandingan Sastra” (http://ramlannarie.wordpress.com/2010/06/09/perbandingan-sastra.htm,
diakses tanggal 24 Mei 2011).
Riris.
2010. “Sastra Ringkasan Ciri-ciri Karya sastra Tiap Angkatan” (http://danririsbastind.wordpress.com/2010/03/10/sastra-ringkasan-ciri-ciri-karya-sastra-tiap-angkatan/,
diakses tanggal 24 Mei 2010).
Sumargono,
Farida. 2004. Sastrawan Malioboro.
Mataram: Gunung Agung 1 Lengge.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Sastra. Jakarta:
Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar